Aku hanya bisa melihat kegelapan
dalam diriku, tapi aku tak tau siapa aku. Orang-orang disekitarku memanggilku
dengan panggilan Soedjito, aku hanya orang tua yang renta yang di anggap hina
dan kotor di masyarakat aku sudah lama hidup di dunia ini, iya karna
pekerjaanku orang-orang di sekitarku menganggap aku tidak berguna aku seperti
ini karna jaman telah berubah tidak seperti masa orde baru dulu dimana semuanya
serba mudah, demi tuntutan hidup aku harus menjadi seperti ini seorang
gelandangan yang tua dan renta dimakan usia.
Aku
sudah tak punya sanak saudara, setiap pagi cahanya matahari menjemputku untuk
berkerja dan cahaya malam menjemputku untuk menyudahi pekerjaan ini. Aku hanya
manusia kotor yang terabaikan oleh tangan pemerintah, mereka hanya obral janji
tanpa bukti tapi tak apalah aku sudah paham di jaman edan ini. Diusiaku yang
semakin dimakan jaman aku masih mencintai bangsaku ini di sela-sela pekerjaanku
aku sering mengumpulkan semua orang berbagai golongan menceritakan kisah
kepahlawanan para pejuang kemerdekaan, banyak yang tak suka tapi tidak sedikit
juga yang mau mendengarkan. Ketika aku melihat anak-anak sekolah air mataku
tanpa sadar mengalir yah jaman sudah berubah waktu masa mudaku tak seperti
mereka. Sebelum aku berangkat kerja aku menyempatkan diri pergi ke sebuah
intasi pemerintah hanya sekedar untuk melihat upacara bendera, entah kenapa
tubuhku terasa kaku saat aku melihat pusaka itu dikibarkan, aku hanya ingin
sekali saja mengibarkan sang saka di depan gubukku yang reot tapi aku tak
pernah bisa karna aku tak mempunyai cukup uang untuk itu.
Keluargaku
sudah lama pergi meninggalkanku, istriku meninggal saat melahirkan anak
pertamaku, anakku sendiri sudah menikah beberapa tahun yang lalu, sekarang aku
tinggal sendiri, aku sering dibujuk anakku untuk tinggal bersamanya, tetapi aku
menolagnya yah karna mungkin aku ingin menikmati masa tuaku seperti ini,
sifatku yang keras kepala yang membuat semua ini terjadi.
Di
pagi hari aku bersiap-siap untuk pergi untuk bekerja mengais rupiah di tong
sampah milik orang lain, inilah pekerjaanku yang sering dianggap remeh sebagian
orang, aku hanya seorang pemulung tua, berbeda dengan jaman dulu waktu jaman
orde baru aku bisa berjualan dengan mudah sejak era reformasi ini aku kesulitan
hidup terpaksa aku harus gulung tikar, dan menjual semua aset berhargaku
kecuali rumah, sepeda reotku dan kluargaku. Aku sudah mencoba berbagai pekerjaan
tapi aku tak bisa mungkin karna faktor usia pikirku, di jaman sekarang seperti
hidup dihutan jaman sekarang lebih parah dari masa penjajahan, dimasa
penjajahan aku masih bisa hidup layak meski banyak siksaan fisik, beda dengan
sekarang di jaman sekarang siksaan bukan fisik lagi melainkan batin hidup lebih
sulit dari pada dahulu.
Bekas
pejuang sepertiku banyak yang hidupnya menderita tapi mereka lebih memilih
hidup dengan sanak saudaranya berbeda denganku aku lebih memilih hidup seperti
ini mungkin aku ingin menikmati masa tuaku seperti ini, yang di anggap sebagian
orang aku sudah gila, tak apa lah persepsi orang berbeda-beda, jaman dulu kami
para veteran bangga karna kami di sanjung pemerintah, hidup kami layak dan
sebagainya, dulu kami sering mengadakan pertemuan yang di adakan pemerintah dan
aku sering ikut pertemuan itu, tapi sejak lengsernya orde baru semua berubah,
kami harus mengambil keputusan untuk bertahan hidup, surat panggilan yang
sering dikiramkan pemerintah untukku aku biarkan saja, ya paling isinya tentang
pertemuan seperti dulu, sejak jaman reformasi aku tidak pernah ikut sekalipun
pertemuan karna biaya yang mendesakku, makan sehari-hari aja masih kesulitan
apalagi menyisakan uang untuk menghadiri
acara gak penting itu”pikirku.
Sifatku
yang keras kepala terkadang tak disukai orang lain, apalagi para pejabat yang
duduk di kursi pemerintah sekarang. Pernah suatu hari aku melempar barang
bantuan dari salah satu caleg di hadapannya karna mereka memberi bantuan tak
iklas mereka meminta agar dirinya dipilih. Apakah itu sosok pemimpin yang
sebenarnya? Pernah sekali aku menampar seorang pejabat karena janji palsunya
dulu, sekarang aku tak percaya lagi terhadap pemerintah. Berbeda dengan
pemerintah jaman kemerdekaan hingga orde baru, mereka mementingkan kehidupan
rakyat. Sosok pemimpin yang aku puja-puja beliaulah Ir. Soekarno. Pernah sekali
aku berjuang bersamanya merebut kemerdekaan, beliaulah pemimpin Indonesia
sebenarnya. Dimasa orde baru pemimpin lebih banyak memperhatikan rakyat setelah
masa reformasi para pemimpin hanya memperdulikan perut mereka, pantas saja ya
para pejabat tambah gemuk orang hidupnya makmur. Itulah yang terjadi dimasa
sekarang, tapi aku tak pernah menyesalinya karena bangsaku sudah Merdeka.
Rasa
nasionalismeku tinggi terhadap bangsa ini aku sering tularkan kepada generasi
muda dengan ceritaku. Mereka begitu terpukau mendengarnya. Muka baru dan lama
sering datang ketempatku untuk mendengarkan ceritaku. Akupun sangat senang
dengan muka-muka penerus generasi bangsa ini. Pernah sekali aku jatuh sakit tak
keluar rumah, tak bekerja tetapi mereka
datang dan menghiburku membawakan sejumlah makanan aku ingin menolaknya tapi
aku tak bisa karna melihat muka-muka mereka yang begitu manisnya. Ya hal biasa
saat mereka datang kesini adalah mendengarkan cerita perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan. Meski mereka tak meminta tapi aku tau dari raut muka mereka. Sungguh indah
masa kecil mereka, akan aku tularkan semua rasa patriotisme dan nasionalismeku
kepada anak-anak ini semua.
Rumahku
yang reot adalah saksi perjuanganku dari masa ke masa, disinilah aku menghabiskan
waktuku dengan keluargaku dulu dan anak-anak kecil yang senang bermain kesini
setiap hari. Di gubukku ini aku tak punya apa-apa, hanya kain putih yang
menjadi selimutku waktu malam dan pakaian yang aku gunakan serta sepeda tuaku
untuk membantuku bekerja. Setiap ulang tahun bangsa ini cuma aku sendiri yang
tak mengibarkan bendera di depan rumah karena aku tak memiliki sang saka merah
putih. Aku ingin memilikinya dan mengibarkan didepan gubukku ini tapi waktu
berkata lain aku tak bisa karena tak ada biaya untuk membeli pusaka tersebut.
Dipagi
buta aku bangun untuk mulai pekerjaanku mengais rezeki di tong sampah orang
lain sebelum mahgrib aku sudah pulang membawa uang seadanya,untuk kebutuhan
hidupku, aku memang sengaja tak memasang listrik dirumahku karna terbatsanya
biaya mungkin didesaku cuma aku saja yang tak pakai listrik sering petugas PLN
datang kesini untuk mewariku listrik seperti biasa aku menolaknya karna tak ada
biaya untuk membayar, lampu minyak kecil sebagi penerang setiap malamku aku
sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, karna hidup semua membutuhkan biaya.
Setiap pagi aku mengontel sepedaku untuk mengais rejeki di tempat orang hingga
dimana harii itu terjadi aku mengais sampah di pembuangan sampah kota hari ini
tak seperti hari biasanya aku menemukan sobekan kain merah yang cukup lebar dan
panjang di tempat sampah ini, entah apa yang terpikirkan olehku aku tak
melanjutkan pekerjaanku ini. Aku bereskan semua barangku dan aku bergegas
pulang, aku cuci kain merah ii hingga bersih aku ambil selimut putihku dan aku
jait menjadi satu ini kali pertamanya aku memegang pusaka ini air mataku tanpa
sedar kluar dengan sendirinya begitu bangga aku dapat menyaksikan dan membikin
pusaka ini sendiri, tak pikir lama kesokan harinya aku kumpulkan anak-anak yang
slalu datang kerumah ini kumulai upacara bendera, tiba-tiba satu persatu warga
desa keluar dari rumah mereka mengikuti upacara yang berlangsung di kediamanku.
Air mataku mengalir begitu derasnya saat pusaka ini berkibar di tiang tertinggi
begitu gagahnya pusaka ini melambai-lambai diatas, entah kenapa pada tubuhku
ini tiba-tiba saja aku merasakan sakit yang sangat mendalam di dadaku dengan
sekejab semua orang yang mengikuti upacara ini mengerumuniku aku tak sadarkan
diri, aku terbangun di sebuah rumah sakit, banyak orang yang menjenguku
termasuk anak laki-lakiku. Yah, aku sekarang sudah menemukan diriku yang asli
seakan aku sudah ingin lepas dari dunia ini. Aku tau ajalku sudah dekat maka
aku tulis cerita ini untuk generasi berikutnya. Agar mereka ingatlah selalu
jasa para pahlawannya. Tak pernah mengabaikan sejarah.
Komentar
Posting Komentar